Ketua Umum ABP-PTSI Pusat, yaitu Prof. Dr. Thomas Suyatno, memaparkan Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta terbagi menjadi 4 (empat katagori): sehat murni, sehat, kurang sehat, dan belum sehat. “Saya tidak setuju dengan istilah PTN/PTS sakit, dan 4 katagori tersebut saya adopsi dari istilah perbankan,” ujar sosok yang pernah berkutat di industri perbankan selama 33 tahun ini, di Bandar lampung, Kamis (14/1/2016).
Lalu, mantan Rektor Unika Atmajaya Jakarta ini memaparkan Permen Ristek dan Dikti RI No 26 Tahun 2015 tentang registrasi pendidik pada pendidikan tinggi. “Di Permen tersebut diatur mengenai Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN), Nomor Induk Dosen Khusus (NIDK), dan Nomor Urut Pendidik (NUP),” kata Thomas. Sesuai UU No 12 tahun 2015, NIDK untuk dosen non guru besar masa pensiun sampai dengan 65 tahun, sedangkan untuk guru besar, 70 tahun.
Dengan adanya Permen No 26 tahun 2015, dosen non guru besar diperpanjang sampai dengan 70 tahun, setelah lewat usia 65 tahun tidak lagi digunakan NIDK tapi NIDK. Guru besar yang sudah menginjak 70 tahun, purna bhaktinya sampai dengan 79 tahun. “Jika telah melewati usia 79 bisa diperpanjang yayasan, sesuai dengan kesehatan dan kemampuan yang bersangkutan, dan bisa diperpanjang, NIDK diganti NUP,” tukas sosok yang untuk kedua kalinya hadir di kampus Umitra itu.
Dalam dialog yang digelar Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABP-PTSI) Wilayah Provinsi Lampung, di kampus Umitra itu, Sang Profesor juga mengemukakan bagaimana caranya sejumlah yayasan pendidikan tinggi di Jakarta memberikan kesejahteraan kepada pengelolanya, berkaitan dengan dana yang boleh diterima atau tidak oleh pengurus yayasan.
“Di Atmajaya setiap rapat diberikan uang transfort 750 ribu, sementara di Yayasan Pendidikan Taraka Nita, setiap rapat diberikan transfort 400 ribu,” tukas dia.
Dengan ketentuan yang ada rapat 21 kali dalam sebulan. Di Taraka Nita saja untuk pengganti transfort rapat selama sebulan bisa mencapai 84 juta rupiah.
Thomas juga menganalisa 3 konflik yang umumnya terjadi dalam yayasan. Pertama, pembina yayasan merasa mempunyai kekuasaan tak terbatas.
Kedua, kekuasaan yang bersifat otoriter. Dan terakhir, masalah finansial. Khusus kekuasaan pembina yayasan, ia menegaskan pembina kekuasaan tetap terbatas.
Yang tidak terbatas pengangkatan dan pemberhentian pengurus, dan pengawas tetapi harus berdasarkan UU No 16 tahun 2001. Kemudian, menggadaikan, menjual aset-aset yayasan, kontrak-kontrak sampai dengan jumlah tertentu harus dengan persetujuan pembina, diluar itu tetap terbatas, tegas dia.